Matahari begitu terik sinarnya seakan membakar tubuh, cuaca yang begitu gerah walaupun sudah mandi badan masi terasa lengket. Keringat terus mengalir seperti tetesan hujan yang jatuh dari atap rumah. Siang itu aku akan berjalan menyusuri kota ambon bersama seorang kawan yang setia menemani ku. Nama panggilanya Akon, bapaknya orang ambon sedangkan ibunya orang jawa, orangnya tinggi kurus dengan model rambut mirip Ahmad Albar. Aku tak takut tersesat karena dia menemaniku bejalan-jalan sekalian membeli ole-ole untuk orang di rumah, ya ini hari terakhirku di Ambon setelah mendaki Gunung Binaiya yang menjadi tujuan utamaku datang ke kota Manise ini. Kota yang sangat indah menurutku dengan struktur topografinya yang sangat fenomenal, mengapa tidak perbukitan yang berdekatan dengan pantai menciptakan pemandangan yang memuaskan mata. Pasir putih yang bersih dengan laut yang jernih, kota ini cukup menarik. Jika ingin berpergian pasti naik kapal.
Tibalah aku di depan Taman Victoria yang berhadapan dengan pantai losari, berjejer penjual kaki lima dan sari laut di depan pantai. Taman ini sangat besejarah, dulunya taman ini milik bangsa portugis namun setelah diusir oleh Belanda taman ini diberi nama Victoria menandakan akan kemenangan Belanda melawan Portugis. Namun sangat disayangkan kini taman ini layaknya sebuah kandang di tumbuhi rumput liar yang tidak terawat, dimana-mana berserakan gerobak-geobak yang sudah tak layak pakai, belum lagi sampah yang berserakan dimana-mana. Dan lebih tragisnya lagi taman ini dijadikan tempat untuk mengembala kambing.
Tak lama aku mengamati taman Victoria ini, kemudian kulanjutkan perjalanan melihat sekelilingku. Sangat ramai orang pada sibuk dengan uusan mereka masing-masing. Tak lama mataku terpaku pada sebuah becak. Menurutku becak ini sangatlah unik, memiliki ciri khas tertentu berbeda degan becak yang ada di makkassar tentunya. Aku sangat sulit medeskripskan becak ini karena keterbatasku untuk mengenal bagian-bagiannya akan tetapi yang membuat aku penasaran yaitu warna dari becak ini. Di ambon hanya ada dua warna yang ada yaitu kuning dan merah. Aku sempat bertanya kepada temanku akon tetapi dia pun tak tau juga jawabannya,” maklum baru 2 tahun di ambon” katanya.
Kemudian kulanjutkan pejalananku menuju Amplaz (Ambon Plaza), di sinilah tempatku membeli baju dengan tulisan “Ambon Manise” untuk adikku di Makassar. Kuperhatikan sebagian besar yang menjual adalah orang bugis dan jawa, jelas terlihat dengan raut wajah mereka nampak terlihat tempat asal mereka. Ku hitung hanya 15 menit aku di dalam, hanya membeli beberapa baju langsung keluar. Kini tujuan ku menuju gong perdamaian, tiba di sana harus bayar tiket masuk sebesar Rp.5.000,-/orang. Setelah ambil tiket langsung masuk, sangat sepi karena waktu itu matahari masih berada tepat di atas kepalaku, jadi orang-orang masih jarang berkunjung. Tiba di sana langsung aku naik melihat Gong Perdamaian Dunia. Bentuknya seperti gong pada umumnya, namun memiliki tulisan dan symbol. Pada lingkaran tengah, terdapat tulisan “World Peace Gong”, gambar Bunga serta tulisan dalam Bahasa Indonesia ‘Gong Perdamaian Dunia’. Tulisan dan bunga, merupakan peneguhan identitas jatidiri Gong Perdamaian. Bahasa Inggris ditampilkan karena bahasa komunikasi internasional. Sementara eksistensi Bahasa Indonesia untuk menegaskan sarana agung ini berasal dari Indonesia. Sedangkan Bunga merupakan lambang keindahan, kebahagiaan serta perdamaian, di tempatkan pada sisi pemisah antara dua tulisan. Posisi bunga ada pada dua tempat, berada di samping kiri dan kanan, memiliki arti simbol keseimbangan. Pada lingkaran dalam, menampilkan 10 simbol agama besar yang dianut mayoritas penduduk Dunia. Sepuluh (10) agama besar terdiri dari : Islam, Hindu, Yahudi, Kristen, Budha, Khonghuchu, Tao, Sikh, Shinto dan Bali. Di luar agama yang disebut di atas, masih ada agama maupun sekte-sekte lain yang dianut penduduk Bumi. Karena jumlah pemeluk tidak terlalu banyak, belum dimasukkan dalam struktur “GPD”. Ini hanya pertimbangan teknis saja. Sedangkan agama Yahudi, kendati memiliki pemeluk relatif kecil, namun keberadaan mereka menyebar, memiliki jaringan pengaruh cukup signifikan pada dunia internasional. Karena itu, symbol agama Yahudi (Bintang Daud/Star David) ada pada “GPD”. Selain itu, agama (Hindu) Bali, meski memiliki pemeluk relatif sedikit, tapi symbol Swastika ditampilkan, karena GPD pertama kali dibunyikan di pulau Bali-Indonesia. Pada Lingkaran puncak, GPD menampilkan Bola Dunia, Planet Bumi atau Globe. Planet Bumi berada di puncak, yang menggambarkan semua manusia hidup dan berpijak di Planet Bumi. Semua penduduk Bumi berasal dari satu keluarga (satu keturunan). Seluruh manusia merupakan “satu keluarga” yaitu “Keluarga Bumi/Warga Dunia”.
Sekiranya begitulah makna dari tulisan dan symbol yang ada tertulis. Setelah puas mengambil gambar, aku lanjutkan perjalanan tak jauh dari Gong Perdamaian di seberang terlihat jelas terlihat Taman Mahardika ditandai dengan patung Patimurah yang berdiri dengan gagahnya sambil memegang parang. Taman ini sangatlah menarik, ada lapangan basketnya, ditambah dengan suasana yang rindang ditumbuhi beberapa pohon besar dan taman-taman bunga yang terawat serta disediakan beberapa tempat duduk. Sempat ku duduk istirahat mengusir penat setelah seharian berjalan. Dan memuaskan mata dengan pemandangan yang sangat jarang kutemui.
Setelah istrahat tiba saatnya untuk kembali, harus jalan dulu beberapa meter kemudian naik angkot. Turun dari angkot bayar Rp.2.000,-/orang kemudian naik kapan feri beli tiket dulu harus bayar Rp.1.500,-/orang. Sekitar 15 menit tiba diseberang barulah berjalan menuju kampus UNPATI jaraknya tidak terlalu jauh dari pelabuhan. Di sanalah tempatku nginap selama di ambon tepatnya di sekret Mapala Tekhnik (MATEPALA).
0 comments "Jalan-Jalan di Kota Ambon", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment