MARI MEMBACA. Powered by Blogger.

Sebuah Cerita : Kejamnya Penggusuran

Seorang nenek tua sambil memegang tokat dengan lambatya menelusuri pasar yang becek demi untuk membeli keperluan hidupnya, ditengah kerumunan orang banyak yang sedang sibuk dengan  urusannya masing-masing iapun begitu sabar berjalan selangkah demi selangkah dari tokoh ke tokoh yang lain dan sesekali ia berhenti untuk menghela nafas. Setelah semua keperluannya dibeli ia pun bersegera untuk pulang dengan bejalan melewati gang-gang sempit, menyebrangi jalan yang ramai oleh kendaraan tanpa seorangpun yang menuntunnya hingga setelah menempuh jarak yang cukup jauh barulah ia sampai di sebuah gubuk tua yang sudah hampir rubuh. Sang nenek tinggal seorang bersama cucunya yang masih berumur empat tahun, kesehariaanya hanyalah menjahit dengan sedikit penghasilan cukuplah untuk makan setiap harinya. Ia sudah tua jadi tak mampu lagi bekerja kasar. Begitulah hari demi hari sang nenek lewati dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa


Suatu ketika terdengar suara tangisan dan kemarahan dari luar gubuknya, sang nenekpun terbangun dari tidur siangnya dan bergegas keluar. Setibanya ia di luar, iapun terkejut dengan mata membelalak melihat sebuah mobil besar yang siap meratakan apapun yang ada didepannya dan puluhan orang-orang berseragam dengan helm dan tamengnya serta masing-masing membawa pentungan dintanganya. Setelah beberapa menit ia pun tersadar apa yang sebernarnya terjadi, dengan begitu berani nenekpun maju memarahi orang-orang berseragam itu sambil menujuki satu persatu dari mereka dengan tokatnya. Namun apalah ia hanya seorang nenek yang sudah tua rentah, orang-orang berseragam itu tak menghiraukan apapun yang keluar dari mulut sang nenek ini layaknya sebuah robot. Merekapun mulai merubuhkan satu persatu rumah-rumah yang ada, tiba pada giliran rumah sang nenek. Ketika itu sang nenekpun menangis, memohon dengan sangat kepada orang-orang berseragam itu. Namun apalah dikata orang-orang ini memang robot yang tak punya perasaan, tak punya hati nurani, dengan satu perintah mobil buldoserpun berjalan siap merubuhkan rumah sang nenek disaat mobil mulai beraksi, sang nenek teringat dengan cucunya yang sedang tertidur nyeyak didalam gubuknya. Iapun berlari ingin menyelamatkan cucunya ketika belum ia  memengang gagang pintu gubuk miliknyapun rubuh pada saat itu pula tubuhnya tertindih oleh tumpukan kayu, “apalah daya tubuh ini sudah tua dan tak mampu berbuat apa-apa lagi, maafkan aku cu’ tak mampu menyelamatkan dirimu dari lintah-lintah darat ini” inilah ucapan yang sempat ia katakan sebelum ajal menjemputnya. 





Semua tinggal kenangan yang ada hanyalah sepenggal kisah yang menjadi dongeng setiap harinya. Kini rumah sang nenek menjadi sebuah apartement yang besar disampingnya berdiri gedung-gedung pencakar langit yang begitu dibanggakan oleh mereka sang lintah pengisap darah.

0 comments "Sebuah Cerita : Kejamnya Penggusuran", Baca atau Masukkan Komentar